Survei prevalensi
TBC yang dilakukan di enam propinsi pada tahun 1983-1993 menunjukkan bahwa
prevalensi TBC di Indonesia berkisar antara 0,2 – 0,65%. Sedangkan menurut
laporan Penanggulangan TBC Global yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2004,
angka insidensi TBC pada tahun 2002 mencapai 555.000 kasus (256 kasus/100.000
penduduk), dan 46% diantaranya diperkirakan merupakan kasus baru. Perkiraan
prevalensi, insidensi dan kematian akibat TBC dilakukan berdasarkan analisis
dari semua data yang tersedia, seperti pelaporan kasus, prevalensi infeksi dan
penyakit, lama waktu sakit, proporsi kasus BTA positif, jumlah pasien yang
mendapat pengobatan dan yang tidak mendapat pengobatan, prevalensi dan insidens
HIV, angka kematian dan demografi.
Saat ini Survei
Prevalensi TBC yang didanai GFATM telah dilaksanakan oleh National Institute
for Health Research & Development (NIHRD) bekerja sama dengan National
Tuberculosis Program (NTP), dan sedang dalam proses penyelesaian. Survei
ini mengumpulkan data dan dilakukan pemeriksaan dahak dari 20.000 rumah tangga
di 30 propinsi. Studi ini akan memberikan data terbaru yang dapat digunakan
untuk memperbarui estimasi insidensi dan prevalensi, sehingga diperoleh
perkiraan yang lebih akurat mengenai masalah TBC.
Dari data tahun
1997-2004 [Attachment: Tabel Identifikasi Kasus 1997-2004 dan Tingkat Pelaporan
1995 – 2000] terlihat adanya peningkatan pelaporan kasus sejak tahun 1996.
Yang paling dramatis terjadi pada tahun 2001, yaitu tingkat pelaporan kasus TBC
meningkat dari 43 menjadi 81 per 100.000 penduduk, dan pelaporan kasus BTA
positif meningkat dari 25 menjadi 42 per 100.000 penduduk. Sedangkan
berdasarkan umur, terlihat angka insidensi TBC secara perlahan bergerak ke arah
kelompok umur tua (dengan puncak pada 55-64 tahun), meskipun saat ini sebagian
besar kasus masih terjadi pada kelompok umur 15-64 tahun. [Attachment : Age
Specific Notification Rate 2004]
Kekebalan Obat Ganda
(Multi Drug Resistance/MDR)
Meskipun saat ini
data mengenai kekebalan obat ganda/MDR di Indonesia belum tersedia, namun telah
disiapkan sebuah survei untuk dilaksanakan pada akhir tahun 2005. Data mengenai
hal ini dianggap penting karena beberapa alasan:
- Indonesia adalah negara high burden, dan sedang memperluas strategi DOTS dengan cepat, karenanya baseline drug susceptibility data (DST) akan menjadi alat pemantau dan indikator program yang amat penting.
- Berdasarkan data dari beberapa wilayah, identifikasi dan pengobatan TBC melalui Rumah Sakit mencapai 20-50% dari kasus BTA positif, dan lebih banyak lagi untuk kasus BTA negatif. Jika tidak bekerja sama dengan Puskesmas, maka banyak pasien yang didiagnosis oleh RS memiliki risiko tinggi dalam kegagalan pengobatan, dan mungkin menimbulkan kekebalan obat.
- Karena belum adanya jaringan laboratorium nasional dengan standar dan kualitas yang memadai, generalisasi dan kualitas dari data yang tersedia tidak dapat ditentukan.
0 komentar:
Posting Komentar