Yusuf Blog :

Penyakit Saraf

Info Penyakit Kanker

Info Penyakit Jantung

Siapa Saja Yang Rawan Terkena Pneumonia

Jumat, 29 Juni 2012


Radang paru paru atau pneumonia adalah infeksi paru paru yang disebabkan oleh bakteri, virus atau jamur. Pada umumnya, pneumonia menyebabkan terjadinya bendungan cairan atau nanah pada rongga paru paru sehingga menyebabkan penderita pneumonia mengalami kesulitan bernafas.

Berikut beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan seseorang menderita radang paru paru atau pneumonia.

  1. Orang yang berusia diatas 65 tahun atau bayi yang berusia dibawah 2 tahun. Kedua kelompok umur ini memiliki daya tahan tubuh yang lemah sehingga mudah mengalami infeksi.
  2. Penderita penyakit paru khronis seperti asma, penyakit paru obstruktif menahun dan fibrosis kistik.
  3. Penderita penyakit khronis seperti gagal jantung, diabetes atau anemia sel sabit.
  4. Mengalami perawatan di unit perawatan intensif rumah sakit terutama yang menggunakan alat bantu nafas/ventilator.
  5. Mengalami komplikasi stroke seperti batuh atau kesulitan menelan makanan.
  6. Mengalami malnutrisi/kurang gizi.
  7. Mereka yang berprofesi sebagai perokok dan peminum alkohol.

Penderita Disfungsi Ereksi


Risiko menderita disfungsi ereksi meningkat seiring dengan semakin bertambahnya usia. Antara 15 sampai 25% pria yang berusia diatas 65 tahun mengalami masalah ini. Pada pria usia lanjut, disfungsi ereksi sering disebabkan oleh masalah fisik seperti efek samping obat, penyakit dan cidera. Segala hal yang dapat merusak sistem saraf dan menganggu aliran darah ke penis dapat menyebabkan disfungsi ereksi.

Inilah beberapa hal yang dapat menyebabkan disfungsi ereksi, diabetes, tekanan darah tinggi, atherosklerosis (kekakuan pembuluh darah arteri), operasi prostat, gangguan keseimbangan hormon, penyalahgunaan obat obatan dan alkohol.

Dan yang pasti disfungsi ereksi juga disebabkan oleh faktor emosi. Pada saat seorang pria mengalami masalah dengan pasangan seksualnya, pria tersebut berisiko menderita disfungsi ereksi. Berikut beberapa masalah psikis yang dapat menyebabkan gangguan disfungsi ereksi, kecemasan, stress, depresi, merasa tidak tertarik lagi dengan pasangan seksualnya.

Jika seseorang mengalami masalah pada ereksi, pertolongan dokter harus segera dilakukan untuk mencegah semakin parahnya gangguan dan berkembangnya masalah sehingga menganggu kehidupan suami istri.

Memonitor ereksi saat tidur bisa dilakukan untuk membantu diagnosis. Pria yang sehat akan mengalami ereksi yang tidak disadari saat tidur. Jika ereksi tidak terjadi saat tidur maka kemungkinan penyebab gangguan ereksi adalah karena masalah fisik. Pemeriksaan ini memang tidak bisa memastikan gangguan yang terjadi dan masih memerlukan pemeriksaan lanjutan yang lebih lengkap.

ABSES PERITONSIL


PENDAHULUAN
Abses peritonsiler dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Bukti menunjukkan bahwa tonsilitis kronik atau percobaan multipel penggunaan antibiotik oral untuk tonsilitis akut merupakan predisposisi pada orang untuk berkembangnya abses peritonsiler. Di Amerika insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun, dipertimbangkan hampir 45.000 kasus setiap tahun.

Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana yang terlibat. Gejala dan tanda klinik dapat berupa nyeri dan pembengkakan. Abses peritonsiler (Quinsy) merupakan salah satu dari Abses leher dalam dimana selain itu abses leher dalam dapat juga abses retrofaring, abses parafaring, abses submanidibula dan angina ludovici (Ludwig Angina).

Abses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala dan leher. Gabungan dari bakteri aerobic dan anaerobic di daerah peritonsilar. Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah adalah didaerah pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior, dan palatum superior.

Abses peritonsil terbentuk oleh karena penyebaran organisme bakteri penginfeksi tenggorokan kesalah satu ruangan aereolar yang longgar disekitar faring menyebabkan pembentukan abses, dimana infeksi telah menembus kapsul tonsil tetapi tetap dalam batas otot konstriktor faring.

Peritonsillar abscess (PTA) merupakan kumpulan/timbunan (accumulation) pus (nanah) yang terlokalisir/terbatas (localized) pada jaringan peritonsillar yang terbentuk sebagai hasil dari suppurative tonsillitis.

ETIOLOGI
Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsilitis. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anak-anak yang lebih tua dan dewasa muda.

Abses peritonsiler disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun yang bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes(Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, danHaemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium,dan Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik.

PATOLOGI
Patofisiologi PTA belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori yang paling banyak diterima adalah kemajuan (progression) episode tonsillitis eksudatif pertama menjadi peritonsillitis dan kemudian terjadi pembentukan abses yang sebenarnya (frank abscess formation).

Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang.

Pada stadium permulaan, (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan, dan bawah, uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral.

Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru.

Selain itu, PTA terbukti dapat timbul de novo tanpa ada riwayat tonsillitis kronis atau berulang (recurrent) sebelumnya. PTA dapat juga merupakan suatu gambaran (presentation) dari infeksi virus Epstein-Barr (yaitu: mononucleosis).

GEJALA KLINIS DAN DIAGNOSIS
Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, terdapat juga odinofagia (nyeru menelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga dan nyeri telinga (otalgia), muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau (rinolalia), dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan.

Bila ada nyeri di leher (neck pain) dan atau terbatasnya gerakan leher (limitation in neck mobility), maka ini dikarenakan lymphadenopathy dan peradangan otot tengkuk (cervical muscle inflammation).

Prosedur diagnosis dengan melakukan Aspirasi jarum (needle aspiration). Tempat aspiration dibius / dianestesi menggunakan lidocaine dengan epinephrine dan jarum besar (berukuran 16–18) yang biasa menempel pada syringe berukuran 10cc. Aspirasi material yang bernanah (purulent) merupakan tanda khas, dan material dapat dikirim untuk dibiakkan.


Pada penderita PTA perlu dilakukan pemeriksaan :
  1. Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar elektrolit (electrolyte level measurement), dan kultur darah (blood cultures).
  2. Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan tonsillitis dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif, penderita memerlukan evaluasi/penilaian hepatosplenomegaly. Liver function tests perlu dilakukan pada penderita dengan hepatomegaly.
  3. “Throat culture” atau “throat swab and culture”: diperlukan untuk identifikasi organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan antibiotik yang tepat dan efektif, untuk mencegah timbulnya resistensi antibiotik.
  4. Plain radiographs: pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue views) dari nasopharynx dan oropharynx dapat membantu dokter dalam menyingkirkan diagnosis abses retropharyngeal.
  5. Computerized tomography (CT scan): biasanya tampak kumpulan cairan hypodense di apex tonsil yang terinfeksi (the affected tonsil), dengan “peripheral rim enhancement”.
  6. Ultrasound, contohnya: intraoral ultrasonography.


KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah:
  1. Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahanm aspirasi paru, atau piema.
  2. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring. Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum menimbulkan mediastinitis.
  3. Bila terjadi penjalaran ke daerah intracranial, dapat mengakibatkan thrombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak.
  4. Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis PTA diabaikan. Beratnya komplikasi tergantung dari kecepatan progression penyakit. Untuk itulah diperlukan penanganan dan intervensi sejak dini.


DIAGNOSIS BANDING
Infiltrat peritonsil, tumor, abses retrofaring, abses parafaring, aneurisma arteri karotis interna, infeksi mastoid, mononucleosis, infeksi kelenjar liur, infeksi gigi, dan adenitis tonsil.

TERAPI
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher. Antibiotik yang diberikan ialah penisilin 600.000-1.200.000 unit atau ampisilin/amoksisilin 3-4 x 250-500 mg atau sefalosporin 3-4 x 250-500 mg, metronidazol 3-4 x 250-500 mg2.

Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral incision dan drainase dilakukan dengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya diletakkan di lipatan supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses menyebabkan perbaikan segera gejala-gejala pasien.

Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri, diberikan analgesia lokal di ganglion sfenopalatum.

Kemudian pasien dinjurkan untuk operasi tonsilektomi “a” chaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut tonsilektomi “a” tiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses disebut tonsilektomi “a” froid. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses.

Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 6–8 minggu kemudian mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi segera.


Penggunaan steroids masih kontroversial. Penelitian terbaru yang dilakukan Ozbek mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal intravenous dexamethasone pada antibiotik parenteral telah terbukti secara signifikan mengurangi waktu opname di rumah sakit (hours hospitalized), nyeri tenggorokan (throat pain), demam, dan trismus dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberi antibiotik parenteral.

PROGNOSIS
Abses peritonsoler hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan tonsilektomi., maka difunda sampai 6 minggu berikutnya. Pada saat tersebut peradangan telah mereda, biasanya terdapat jeringan fibrosa dan granulasi pada saat oprasi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Adams, G.L. 1997. Penyakit-Penyakit Nasofaring Dan Orofaring. Dalam: Boies, Buku Ajar Penyakit THT, hal.333. EGC,Jakarta.
2. Fachruddin, darnila. 2006. Abses Leher Dalam. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan, Telinga-Hidung-Tenggorokan, hal. 185. Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
3. Soepardi,E.A, Iskandar, H.N, Abses Peritonsiler, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung dan Tenggorokan, Jakarta: FKUl, 2000; 185-89.
4. Mehta, Ninfa. MD. Peritonsillar Abscess. Available from. www.emedicine.com. Accessed at Juli 2007.
5. Adrianto, Petrus. 1986. Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan, 296, 308-09. EGC, Jakarta.
6. Bailey, Byron J, MD. Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. In : Head and Neck Surgey-Otolaryngology 2nd Edition. Lippincott_Raven Publisher. Philadelphia. P :1224, 1233-34.
7. Anurogo, Dito. 2008. Tips Praktis Mengenali Abses Peritonsil. Accessed: http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=3&dn=20080125161248.
8. Preston, M. 2008. Peritonsillar Abscess (Quinsy). accessed: http://www.patient.co.uk/showdoc/40000961/.
9. STEYER, T. E. 2002. Peritonsillar Abscess: Diagnosis and Treatment. accessed: http://www.aafp.org/afp/20020101/93.html.
10. Hatmansjah. Tonsilektomi. Cermin Dunia Kedokteran Vol. 89, 1993. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, hal : 19-21.

OTITIS EKSTERNA


Pendahuluan
Otitis eksterna adalah radang liang telinga akut maupun kronis disebabkan oleh bakteri dapat terlogalisir atau difus, telinga rasa sakit. Faktor ini penyebab timbulnya otitis eksterna ini, kelembaban, penyumbatan liang telinga, trauma local dan alergi. Faktor ini menyebabkan berkurangnya lapisan protektif yang menyebabkan edema dari epitel skuamosa. Keadaan ini menimbulkan trauma local yang mengakibatkan bakteri masuk melalui kulit, inflasi dan menimbulkan eksudat. Bakteri patogen pada otitis eksterna akut adalah pseudomonas (41 %), strepokokus (22%), stafilokokus aureus (15%) dan bakteroides (11%).1 Istilah otitis eksterna akut meliputi adanya kondisi inflasi kulit dari liang telinga bagian luar. 

Otitis eksterna ini merupakan suatu infeksi liang telinga bagian luar yang dapat menyebar ke pina, periaurikular, atau ke tulang temporal. Biasanya seluruh liang telinga terlibat, tetapi pada furunkel liang telinga luar dapat dianggap pembentukan lokal otitis eksterna. Otitis eksterna difusa merupakan tipe infeksi bakteri patogen yang paling umum disebabkan oleh pseudomonas, stafilokokus dan proteus, atau jamur.

Penyakit ini sering diumpai pada daerah-daerah yang panas dan lembab dan jarang pada iklim-iklim sejuk dan kering. Patogenesis dari otitis eksterna sangat komplek dan sejak tahun 1844 banyak peneliti mengemukakan faktor pencetus dari penyakit ini seperti Branca (1953) mengatakan bahwa berenang merupakan penyebab dan menimbulkan kekambuhan. Senturia dkk (1984) menganggap bahwa keadaan panas, lembab dan trauma terhadap epitel dari liang telinga luar merupakan faktor penting untuk terjadinya otitis eksterna. Howke dkk (1984) mengemukakan pemaparan terhadap air dan penggunaan lidi kapas dapat menyebabkan terjadi otitis eksterna baik yang akut maupun kronik.

Penulis akan membahas tentang kasus otitis eksterna sinistra. Penyakit ini sering ditemukan pada pasien di bidang telinga, hidung dan tenggorokan. Nan Sati CN dalam penelitiannya di RS.Sumber Waras/FK UNTAR Jakarta mulai 1 Januari 1980 sampai dengan 30 Desember 1980 mendapatkan 1.370 penderita baru dengan diagnosis otitis eksterna yang terdiri dari 633 pria dan 737wanita. Umumnya penderita datang ke Rumah Sakit dengan keluhan rasa sakit pada telinga, terutama bila daun telinga disentuh dan waktu mengunyah. Bila peradangan ini tidak diobati secara adekuat, maka keluhan-keluhan seperti rasa sakit, gatal dan mungkin sekret yang berbau akan menetap.


Batasan
Otitis eksterna adalah radang merata kulit liang telinga yang disebabkan oleh kuman maupun jamur (otomikosis) dengan tanda-tanda khas yaitu rasa tidak enak di liang telinga, deskuamasi, sekret di liang telinga dan kecenderungan untuk kambuhan. Pengobatan amat sederhana tetapi membutuhkan kepatuhan penderita terutama dalam menjaga kebersihan liang telinga.8


Etiologi
Swimmer’s ear (otitis eksterna) sering dijumpai, didapati 4 dari 1000 orang, kebanyakan pada usia remaja dan dewasa muda.Terdiri dari inflamasi, iritasi atau infeksi pada telinga bagian luar. Dijumpai riwayat pemaparan terhadap air, trauma mekanik dan goresan atau benda asing dalam liang telinga. Berenang dalam air yang tercemar merupakan salah satu cara terjadinya otitis eksterna (swimmer’s ear).
Bentuk yang paling umum adalah bentuk boil (Furunkulosis) salah satu dari satu kelenjar sebasea 1/3 liang telinga luar. Pada otitis eksterna difusa disini proses patologis membatasi kulit sebagian kartilago dari otitis liang telinga luar, konka daun telinga penyebabnya idiopatik, trauma, iritan, bakteri atau fungal, alergi dan lingkungan.
Kebanyakan disebabkan alergi pemakaian topikal obat tetes telinga. Alergen yang paling sering adalah antibiotik, contohnya: neomycin, framycetyn, gentamicin, polimixin, anti bakteri (clioquinol, Holmes dkk, 1982) dan anti histamin. Sensitifitas poten lainnya adalah metal dan khususnya nikel yang sering muncul pada kertas dan klip rambut yang mungkin digunakan untuk mengorek telinga. Infeksi merupakan penyakit yang paling umum dari liang telinga luar seperti otitis eksterna difusa akut pada lingkungan yang lembab.


Patofisiologi
Saluran telinga bisa membersihkan dirinya sendiri dengan cara membuang sel-sel kulit yang mati dari gendang telinga melalui saluran telinga. Membersihkan saluran telinga dengan cotton bud (kapas pembersih) bisa mengganggu mekanisme pembersihan ini dan bisa mendorong sel-sel kulit yang mati ke arah gendang telinga sehingga kotoran menumpuk disana.

Penimbunan sel-sel kulit yang mati dan serumen akan menyebabkan penimbunan air yang masuk ke dalam saluran ketika mandi atau berenang. Kulit yang basah dan lembut pada saluran telinga lebih mudah terinfeksi oleh bakteri atau jamur. 


Klasifikasi Otitis Eksterna
1.      Penyebab tidak diketahui :
·               Malfungsi kulit : dermatitis seboroita, hiperseruminosis, asteotosis
·               Eksema infantil : intertigo, dermatitis infantil.
·               Otitis eksterna membranosa.
·               Meningitis kronik idiopatik
·               Lupus erimatosus, psoriasis
2.      Penyebab infeksi
·          Bakteri gram (+) : furunkulosis, impetigo, pioderma, ektima, sellulitis, erisipelas.
·          Bakteri gram (-) : Otitis eksterna diffusa, otitis eksterna bullosa, otitis eksterna granulosa, perikondritis.
·          Bakteri tahan asam : mikrobakterium TBC.
·          Jamur dan ragi (otomikosis) : saprofit atau patogen.
·          Meningitis bullosa, herpes simplek, herpes zoster, moluskum kontangiosum, variola dan varicella.
·          Protozoa
·          Parasit
3.      Erupsi neurogenik : proritus simpek, neurodermatitis lokalisata/desiminata, ekskoriasi, neurogenik.
4.      Dermatitis alergika, dermatitis kontakta (venenat), dermatis atopik, erupsi karena obat, dermatitis eksamatoid infeksiosa, alergi fisik.
5.      Lesi traumatika : kontusio dan laserasi, insisi bedah, hemorhagi (hematom vesikel dan bulla), trauma (terbakar, frosbite, radiasi dan kimiawi).
6.      Perubahan senilitas.
7.      Deskrasia vitamin
8.      Diskrasia endokrin.

Otitis Eksterna Sirkumskripta (Furunkel/ bisul)
Otitis eksterna sirkumskripta adalah infeksi bermula dari folikel rambut di liang telinga yang disebabkan oleh bakteri stafilokokus dan menimbulkan furunkel di liang telinga di 1/3 luar. Sering timbul pada seseorang yang menderita diabetes.

Gejala klinis otitis eksterna sirkumskripta berupa rasa sakit (biasanya dari ringan sampai berat, dapat sangat mengganggu, rasa nyeri makin hebat bila mengunyah makanan). Keluhan kurang pendengaran, bila furunkel menutup liang telinga. Rasa sakit bila daun telinga ketarik atau ditekan. Terdapat tanda infiltrat atau abses pada 1/3 luar liang telinga.

Penatalaksanaan otitis eksterna sirkumskripta : 
·        Lokal : pada stadium infiltrat diberikan tampon yang dibasahi dengan 10% ichthamol dalam glycerine, diganti setiap hari. Pada stadium abses dilakukan insisi pada abses dan tampon larutan rivanol 0,1%.
·        Sistemik : Antibiotika diberikan dengan pertimbangan infeksi yang cukup berat. Diberikan pada orang dewasa ampisillin 250 mg qid, eritromisin 250 qid. Anak-anak diberikan dosis 40-50 mg per kg BB.
·        Analgetik : Parasetamol 500 mg qid (dewasa). Antalgin 500 mg qid (dewasa).
Pada kasus-kasus berulang tidak lupa untuk mencari faktor sistemik yaitu adanya penyakit diabetes melitus.


Otitis Eksterna Difus
Otitis eksterna difus adalah infeksi pada 2/3 dalam liang telinga akibat infeksi bakteri. Umumnya bakteri penyebab yaitu Pseudomonas. Bakteri penyebab lainnya yaitu Staphylococcus albus, Escheria coli, dan sebagainya. Kulit liang telinga terlihat hiperemis dan udem yang batasnya tidak jelas. Tidak terdapat furunkel (bisul). Gejalanya sama dengan gejala otitis eksterna sirkumskripta (furunkel = bisul). Kandang-kadang kita temukan sekret yang berbau namun tidak bercampur lendir (musin). Lendir (musin) merupakan sekret yang berasal dari kavum timpani dan kita temukan pada kasus otitis media. 

Pengobatan otitis eksterna difus ialah dengan memasukkan tampon yang mengandung antibiotik ke liang telinga supaya terdapat kontak yang baik antara obat dengan kulit yang meradang. Kadang-kadang diperlukan obat antibiotika sistemik. 


Otomikosis
Infeksi jamur di liang telinga dipermudah oleh kelembaban yang tinggi di daerah tersebut. Yang tersering ialah jamur aspergilus. Kadang-kadang ditemukan juga kandida albikans atau jamur lain.

Gejalanya biasanya berupa rasa gatal dan rasa penuh di liang telinga, tetapi sering pula tanpa keluhan. Pengobatannya ialah dengan membersihkan liang telinga. Larutan asam asetat 2-5% dalam alkohol yang diteteskan ke liang telinga biasanya dapat menyembuhkan. Kadang-kadang diperlukan juga obat anti-jamur (sebagai salep) yang diberikan secara topikal. 


Gejala Klinis
Rasa sakit di dalam telinga bisa bervariasi dari yang hanya berupa rasa tidak enak sedikit, perasaan penuh didalam telinga, perasaan seperti terbakar hingga rasa sakit yang hebat, serta berdenyut. Meskipun rasa sakit sering merupakan gejala yang dominan, keluhan ini juga sering merupakan gejala sering mengelirukan. Kehebatan rasa sakit bisa agaknya tidak sebanding dengan derajat peradangan yang ada. Ini diterangkan dengan kenyataan bahwa kulit dari liang telinga luar langsung berhubungan dengan periosteum dan perikondrium, sehingga edema dermis menekan serabut saraf yang mengakibatkan rasa sakit yang hebat. Lagi pula, kulit dan tulang rawan 1/3 luar liang telinga bersambung dengan kulit dan tulang rawan daun telinga sehingga gerakan yang sedikit saja dari daun telinga akan dihantarkan kekulit dan tulang rawan dari liang telinga luar dan mengkibatkan rasa sakit yang hebat dirasakan oleh penderita otitis eksterna.

Rasa penuh pada telinga merupakan keluhan yang umum pada tahap awal dari otitis eksterna difusa dan sering mendahului terjadinya rasa sakit dan nyeri tekan daun telinga.

Gatal merupakan gejala klinik yang sangat sering dan merupakan pendahulu rasa sakit yang berkaitan dengan otitis eksterna akut. Pada kebanyakan penderita rasa gatal disertai rasa penuh dan rasa tidak enak merupakan tanda permulaan peradangan suatu otitis eksterna akuta. Pada otitis eksterna kronik merupakan keluhan utama.

Kurang pendengaran mungkin terjadi pada akut dan kronik dari otitis eksterna akut. Edema kulit liang telinga, sekret yang sorous atau purulen, penebalan kulit yang progresif pada otitis eksterna yang lama, sering menyumbat lumen kanalis dan menyebabkan timbulnya tuli konduktif. Keratin yang deskuamasi, rambut, serumen, debris, dan obat-obatan yang digunakan kedalam telinga bisa menutup lumen yang mengakibatkan peredaman hantaran suara.


Tanda-Tanda Klinis
Menurut MM. Carr secara klinik otitis eksterna terbagi : 
1. Otitis Eksterna Ringan : kulit liang telinga hiperemis dan eksudat, liang telinga menyempit.
2. Otitis Eksterna Sedang : liang telinga sempit, bengkak, kulit hiperemis dan eksudat positif
3. Otitis Eksterna Komplikas : Pina/Periaurikuler eritema dan bengkak
4. Otitis Eksterna Kronik : kulit liang telinga/pina menebal, keriput, eritema positif.

Menurut Senturia HB (1980) :
Eritema kulit, sekret yang kehijau-hijauan dan edema kulit liang telinga merupakan tanda-tanda klasik dari otitis diffusa akuta. Bau busuk dari sekret tidak terjadi. Otitis eksterna diffusa dapat dibagi atas 3 stadium yaitu : 
1. “Pre Inflammatory“
2. Peradangan akut (ringan/ sedang/ berat)
3. Radang kronik


Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari keadaan yang serupa dengan otitis eksterna antara lain meliputi :
- Otitis eksterna nekrotik
- Otitis eksterna bullosa
- Otitis eksterna granulosa
- Perikondritis yang berulang
- Kondritis
- Furunkulosis dan karbunkulosis
- dermatitis, seperti psoriasis dan dermatitis seboroika.

Karsinoma liang telinga luar yang mungkin tampak seperti infeksi stadium dini diragukan dengan proses infeksi, sering diobati kurang sempurna. Tumor ganas yang paling sering adalah squamous sel karsinoma, walaupun tumor primer seperti seruminoma, kista adenoid, metastase karsinoma mamma, karsinoma prostat, small (oat) cell“ dan karsinoma sel renal. Adanya rasa sakit pada daerah mastoid terutama dari tumor ganas dan dapat disingkirkan dengan melakukan pemeriksaan biopsi.


DAFTAR PUSTAKA
1. Oghalai, J.S. 2003. Otitis Eksterna. Available from : http://www. bcm.tme.edu/oto/grand/101295.htm. Accessed : 2008, March 28.
2. Abdullah, F. 2003. Uji Banding Klinis Pemakaian Larutan Burruwi Saring dengan Salep Ichthyol (Ichthammol) pada Otitis Eksterna Akut. Available from : www.usudigitallibrary.com. Accessed : 2008, March 28.
3. Kotton, C. 2004. Otitis Eksterna. Available from : http:sav-ondrugs. com/shop/templates/encyclopedia/ ENCY/ artcle/000622. asp.Accessed : 2008, March 28.
4. Carr, MM. 2000. Otitis Eksterna. Available from : http://www. icarus.med.utoronto.ea/carr/manual/otitisexterna. htm. Accessed : 2008, March 28.
5. Fatih, M. 2007. Otitis Eksterna. Available from :http://hennykartika.wordpress.com/2007/12/29/otitis-eksterna/. Accessed : 2008, March 27.
6. Sosialisman & Helmi. 2001. Kelainan Telinga Luar dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.Jakarta.
7. Anonim. 2006. Otitis Eksterna. Available from :http://www.kalbe.co.id. Accessed : 2008, March 27.
8. Suardana, W. dkk. 1992. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorok RSUP Denpasar. Lab/UPF Telinga Hidung dan Tenggorok FK Unud. Denpasar.

KOLESTEATOMA EKSTERNA


Kolesteatoma adalah suatu kista epiterial yang berisi deskuamasi epitel (keratin). Istilah kolesteatoma mulai diperkenalkan oleh Johanes Muller pada tahun 1838 karena disangka tumor yang ternyata bukan. Seluruh epitel kulit (keratinizing stratified squamous epithelium) pada tubuh kita berada pada lokasi yang terbuka/ terpapar ke dunia luar. Epitel kulit di liang telinga merupakan suatu daerah cul-de-sac sehingga apabila terdapat serumen padat di liang telinga dalam waktu yang lama, maka dari epitel kulit yang berada medial dari serumen tersebut seakan terperangkap sehingga membentuk kolesteatoma.

Kolesteatoma diawali dengan penumpukan deskuamasi epidermis di liang telinga, sehingga membentuk gumpalan dan menimbulkan rasa penuh serta kurang dengar. Bila tidak ditanggulangi dengan baik akan terjadi erosi kulit dan bagian tulang liang telinga. Hal yang terakhir ini disebut sebagai kolesteatoma eksterna. Kolesteatoma eksterna disusun atas epitel gepeng & debris tumpukan pengelupasan keratin, sehingga akan lembab karena menyerap air sehingga mengundang infeksi. Kolesteatoma mengerosi tulang yang terkena baik akibat efek penekanan oleh penumpukan debris keratin maupun akibat aktifitas mediasi enzim osteoklas. Etiologinya belum diketahui, sering terjadi pada pasien dengan kelainan paru kronik, seperti bronkiektasis, juga pada pasien sinusitis. Namun kejadian kolesteatoma sangat jarang terjadi.

Kolesteatoma merupakan media yang baik untuk tempat tumbuhnya kuman, yang paling sering adalah Pseudomonas aeruginosa. Pembesaran kolesteatom menjadi lebih cepat apabila sudah disertai infeksi, kolesteatom ini akan menekan dan mendesak organ disekitarnya serta menimbulkan nekrosis terhadap tulang. Terjadinya proses nekrosis diperhebat oleh karena adanya pembentukan reaksi asam oleh pembusukan bakteri.

Kolesteatoma pada liang telinga biasanya unilateral. Pasien mengeluhkan nyeri tumpul sampai nyeri hebat akibat peradangan setempat dan otorea intermitten akibat erosi tulang dan infeksi sekunder. Kolesteatoma diduga sebagai akibat migrasi epitel yang salah & periostitis sirkumskripta. Erosi bagian tulang liang telinga dapat sangat progresif memasuki rongga mastoid dan kavum timpani.

Penyakit ini dapat dikontrol dengan melakukan pembersihan liang telinga secara periodic misalnya tiap tiga bulan. Pemberian obat tetes telinga dari campuran alcohol atau gliserin dalam perioksida 3%, tiga kali seminggu sering kali dapat menolong. Pada pasien yang telah mengalami erosi tulang liang telinga, seringkali diperlukan tindakan bedah dengan melakukan tandur jaringan ke bawah kulit untuk menghilangkan gaung di dinding liang telinga. Yang penting ialah membuat agar liang telinga berbentuk seperti corong, sehingga pembersihan liang telinga secara spontan lebih terjamin.


DAFTAR PUSTAKA
Sosialisman. Herman., 2006. Keratosis Obliterans Dan Kolesteatoma Eksterna. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT edisi kelima hal. 47-48. Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Djaafar, ZA. 2006. Kolesteatoma. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT edisi kelima hal.55-56. Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
http://www.marshfieldclinic.org/proxy/MC-cattails_2006_sepoct_cyst.1.jpg.

OTITIS MEDIA AKUT (OMA)


Pendahuluan
Otitis media peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. otitis media terbagi atas otitis media supuratif dan non-supuratif, dimana masing-masing memiliki bentuk akut dan kronis. Otitis media akut termasuk kedalam jenis otitis media supuratif. Selain itu, terdapat juga jenis otitis media spesifik, yaitu otitis media tuberkulosa, otitis media sifilitik, dan otitis media adhesiva.

Otitis media pada anak-anak sering kali disertai dengan infeksi pada saluran pernapasan atas. Pada penelitian terhadap 112 pasien ISPA (6-35 bulan), didapatkan 30% mengalami otitis media akut dan 8% sinusitis. Epidemiologi seluruh dunia terjadinya otitis media berusia 1 thn sekitar 62%, sedangkan anak-anak berusia 3 thn sekitar 83%. Di Amerika Serikat, diperkirakan 75% anak mengalami minimal satu episode otitis media sebelum usia 3 tahun dan hampir setengah dari mereka mengalaminya tiga kali atau lebih. Di Inggris setidaknya 25% anak mengalami minimal satu episode sebelum usia sepuluh tahun.

Resiko kekambuhan otitis media terjadi pada beberapa faktor, antara lain usia <5 thn, otitis prone (pasien yang mengalami otitis pertama kali pada usia <6 bln, 3 kali dalam 6 bln terakhir), infeksi pernapasan, perokok, dan laki-laki.


Definisi
Otitis media akut ialah peradangan telinga tengah yang mengenai sebagian atau seluruh periosteum dan terjadi dalam waktu kurang dari 3 minggu.

Etiologi
Sumbatan pada tuba eustachius merupakan penyebab utama dari otitis media. Pertahanan tubuh pada silia mukosa tuba eustachius terganggu, sehingga pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah terganggu juga. Selain itu, ISPA juga merupakan salah satu faktor penyebab yang paling sering.

Kuman penyebab OMA adalah bakteri piogenik, sepertiStreptococcus hemoliticus, Haemophilus Influenzae (27%), Staphylococcus aureus (2%), Streptococcus Pneumoniae (38%), Pneumococcus.

Pada anak-anak, makin sering terserang ISPA, makin besar kemungkinan terjadinya otitis media akut (OMA). Pada bayi, OMA dipermudah karena tuba eustachiusnya pendek, lebar, dan letaknya agak horisontal.

Patogenesis
Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran napas seperti radang tenggorokan atau pilek yang menyebar ke telinga tengah lewat saluran Eustachius. Saat bakteri melalui saluran Eustachius, mereka dapat menyebabkan infeksi di saluran tersebut sehingga terjadi pembengkakan di sekitar saluran, tersumbatnya saluran, dan datangnya sel-sel darah putih untuk melawan bakteri. Sel-sel darah putih akan membunuh bakteri dengan mengorbankan diri mereka sendiri. Sebagai hasilnya terbentuklah nanah dalam telinga tengah. Selain itu pembengkakan jaringan sekitar saluran Eustachius menyebabkan lendir yang dihasilkan sel-sel di telinga tengah terkumpul di belakang gendang telinga.

Jika lendir dan nanah bertambah banyak, pendengaran dapat terganggu karena gendang telinga dan tulang-tulang kecil penghubung gendang telinga dengan organ pendengaran di telinga dalam tidak dapat bergerak bebas. Kehilangan pendengaran yang dialami umumnya sekitar 24 desibel (bisikan halus). Namun cairan yang lebih banyak dapat menyebabkan gangguan pendengaran hingga 45 desibel (kisaran pembicaraan normal). Selain itu telinga juga akan terasa nyeri. Dan yang paling berat, cairan yang terlalu banyak tersebut akhirnya dapat merobek gendang telinga karena tekanannya. OMA dapat berkembang menjadi otitis media supuratif kronis apabila gejala berlangsung lebih dari 2 bulan, hal ini berkaitan dengan beberapa faktor antara lain higiene, terapi yang terlambat, pengobatan yang tidak adekuat, dan daya tahan tubuh yang kurang baik.

OMA memiliki beberapa stadium klinis antara lain:
1.    Stadium oklusi tuba eustachius
a.     Terdapat gambaran retraksi membran timpani.
b.     Membran timpani berwarna normal atau keruh pucat.
c.     Sukar dibedakan dengan otitis media serosa virus.

2.    Stadium hiperemis
a.     Pembuluh darah tampak lebar dan edema pada membran timpani.
b.     Sekret yang telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudat yang serosa sehingga sukar terlihat.

3.    Stadium supurasi
a.     Membran timpani menonjol ke arah luar.
b.     Sel epitel superfisila hancur.
c.     Terbentuk eksudat purulen di kavum timpani.
d.     Pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, serta nyeri di telinga tambah hebat.

4.    Stadium perforasi
a.     Membran timpani ruptur.
b.     Keluar nanah dari telinga tengah.
c.     Pasien lebih tenang, suhu badan turun, dan dapat tidur nyenyak.

5.    Stadium resolusi
a.     Bila membran timpani tetap utuh, maka perlahan-lahan akan normal kembali.
b.     Bila terjadi perforasi, maka sekret akan berkurang dan mengering.
c.     Resolusi dapat terjadi tanpa pengobatan bila virulensi rendah dan daya tahan tubuh baik.

Diagnosis
Pada anak, keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga dan suhu tubuh tinggi serta ada riwayat batuk pilek sebelumnya. Anak juga gelisah, sulit tidur, tiba-tiba menjerit waktu tidur, diare, kejang-kejang, dan kadang-kadang anak memegang telinga yang sakit. Bila terjadi ruptur membran timpani, maka sekret mengalir ke liang telinga, suhu tubuh turun, dan anak tertidur tenang.

Pada anak yang lebih besar atau dewasa, selain rasa nyeri terdapat pula gangguan pendengaran dan rasa penuh dalam telinga.

Diagnosis terhadap OMA tidak sulit, dengan melihat gejala klinis dan keadaan membran timpani biasanya diagnosis sudah dapat ditegakkan. Penilaian membran timpani dapat dilihat melalui pemeriksaan lampu kepala dan otoskopi. Perforasi yang terdapat pada membran timpani bermacam-macam, antara lain perforasi sentral, marginal, atik, subtotal, dan total.

Penatalaksanaan
Terapi OMA tergantung pada stadiumnya. Pada stadium oklusi, tujuan terapi dikhususkan untuk membuka kembali tuba eustachius. Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,5% dalam larutan fisiologik untuk anak <12 thn dan HCl efedrin 1% dalam larutan fisiologik untuk anak yang berumur >12 thn atau dewasa.. selain itu, sumber infeksi juga harus diobati dengan memberikan antibiotik.

Pada stadium presupurasi, diberikan antibiotik, obat tetes hidung, dan analgesik. Bila membran timpani sudah hiperemi difus, sebaiknya dilakukan miringotomi. Antibiotik yang diberikan ialah penisilin atau eritromisin. Jika terdapat resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam klavunalat atau sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin IM agar konsentrasinya adekuat di dalam darah. Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Pada anak diberikan ampisilin 4x50-100 mg/KgBB, amoksisilin 4x40 mg/KgBB/hari, atau eritromisin 4x40 mg/kgBB/hari.

Pengobatan stadium supurasi selain antibiotik, pasien harus dirujuk untuk dilakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh.Selain itu, analgesik juga perlu diberikan agar nyeri dapat berkurang.

Pada stadium perforasi, diberikan obat cuci telinga H2O2 3% selama 3-5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu.

Stadium resolusi biasanya akan tampak sekret mengalir keluar. Pada keadaan ini dapat dilanjutkan antibiotik sampai 3 minggu, namun bila masih keluar sekret diduga telah terjadi mastoiditis.

Komplikasi
Sebelum ada antibiotik, komplikasi paling sering pada OMA ialah abses subperiosteal sampai komplikasi yang berat seperti meningitis dan abses otak. Otitis media yang tidak diatasi juga dapat menyebabkan kehilangan pendengaran permanen.

Pencegahan
Beberapa hal yang tampaknya dapat mengurangi risiko OMA adalah:
1. Pencegahan ISPA pada bayi dan anak-anak.
2. Pemberian ASI minimal selama 6 bulan.
3. Penghindaran pemberian susu di botol saat anak berbaring.
4. Penghindaran pajanan terhadap asap rokok.
Berenang kemungkinan besar tidak meningkatkan risiko OMA.


DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Otitis Media Akut. Accessed:http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/imagepages/1092.htm.
Revai, Krystal et al. 2007. Incidence of Acute Otitis Media and Sinusitis Complicating Upper Respiratory Tract Infection: The Effect of Age. PEDIATRICS Vol. 119 No. 6 June 2007, pp. e1408-e1412.
Moses, Scott. 2008. Otitis Media. Accessed: www.fpnotebook.com.
Djaafar, ZA. 2006. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Telinga Hidung Tenggorokan, cetakan ke-5. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

Penyakit Kulit

Info Penyakit Hati

Info Penyakit Darah

 

© Copyright INFO PENYAKIT 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.