Yusuf Blog :

Xerostomia

Selasa, 26 Juni 2012


Definisi
Xerostomia adalah keluhan berupa adanya rasa kering dalam rongga mulutnya akibat adanya penurunan produksi saliva (hiposalivasi) atau perubahan komposisi saliva. Apabila terjadi kelainan pada kelenjar saliva mayor dan minor dapat menimbulkan penyakit xerostomia. Air liur yang sering disebut saliva berasal dari kelenjar-kelenjar saliva yang terdapat di rongga mulut. Kelenjar saliva terdiri atas kelenjar saliva mayor dan kelenjar saliva minor. Kelenjar saliva mayor terdiri dari 3 pasang kelenjar yaitu kelenjar saliva parotis, submandibularis, dan sublingualis yang terletak di sekitar daerah leher. Sedangkan kelenjar saliva minor tersebar di seluruh mukosa mulut. (Lewis 1998)

Etiologi
Banyak orang mengeluh mulutnya kering walaupun kelenjar saliva mereka berfungsi dengan normal. Xerostomia sejati dapat disebabkan oleh penyakit kelenjar saliva primer atau manifestasi sekunder dari suatu kelainan sistemik atau terapi obat. (Lewis 1998)

Xerostomia terjadi ketika jumlah air liur yang menggenangi selaput lendir mulut berkurang. Output air liur diperkirakan satu liter per hari. Kekurangan air liur atau kekeringan oral dapat dipercepat oleh dehidrasi mukosa oral yang terjadi saat output oleh kelenjar saliva mayor, kelenjar saliva minor dan lapisan air liur yang menutupi mukosa oral berkurang. (Guggenheimer 2003)

Xerostomia juga sering terjadi akibat penurunan volume atau perubahan komposisi saliva (menjadi pekat, penurunan pH dan kehilangan komponen organik–inorganik). Ada beberapa penyebab xerostomia seperti bernapas melalui mulut (False dry mouth), dehidrasi, kandidiasis oral, febris, infiltrasi pada kelenjar saliva, hiperkalsemia, radioterapi kepala leher. Penyebab lain : seperti depresi (False dry mouth), diabetes mellitus, diabetes insipidus, hipotiroidisme. (Indriyani 2010)

Penyebab paling lazim xerostomia adalah obat. Lebih dari 400 obat yang pada umumnya digunakan dapat menyebabkan xerostomia. Jenis obat yang dapat menyebabkan xerostomia antara lain seperti antihipertensi, antihistamin, antidepresan, antikolinergik, anorexiants, antipsikotik, agen anti-Parkinson, diuretik dan obat penenang. Pasien yang mengeluh xerostomia harus diwawancarai dan obat-obatan yang mereka pakai harus ditinjau ulang seperti dengan mengubah obat atau dosis untuk memberikan peningkatan aliran saliva. (University of Montana 2010)

Patogenesis
Saliva diproduksi leh kelenjar parotis, submandibularis , sublingualis serta ratusan kelenjar saliva minor yang terdistribusi di seluruh bagian rongga mulut. Setiap harinya kelenjar-kelenjar saliva ini diperkirakan menghasilan 1 liter/hari, flow rate dapat fluktuatif hingga 50% sesuai ritme diurnal (Guggenheimer, 2003).

Sistem syaraf simpatik dan parasimpatik menginervasi kelenjar saliva. Parasimpatis menginervasi lebih banyak pada “watery secretion” dan saraf simpatik lebih banyak menginervasi “viscous saliva”. Sensasi mulut kering seperti halnya yang dirasakan pada saat stress yang akut yang disebabkan adanya perubahan komposisi saliva pada saat ini stimulasi saraf simpatis lebih dominan selama periode ini. Selain itu gejala mulut kering ini juga disebabkan oleh dehidrasi mukosa rongga mulut dimana output kelenjar saliva minor dan mayor menurun serta lapisan saliva yang melapisis mukosa oral berkurang (Guggenheimer, 2003).

pancreas (Vernillo, 2003; Pedersen, 2004; Greenberg, 2003). bMekanisme patogenesis antara DM dan perubahan fungsi kelenjar saliva hingga saat ini belum jelas. Dehidrasi sebagai hasil dari hiperglikemia yang lama sebagai konsekwensi dari poliuria merupakan penyebab utama xerostomia dan hipofungsi kelenjar saliva pada pasien DM. Dehidrasi saja tidak dapat menyebabkan perubahan fungsi kelenjar saliva. Infiltrat limfositik yang terlihat pada jaringan kelenjar saliva labial mengindikasikan bahwa jaringan kelenjar saliva merupakan target suatu proses autoimun yang sama dengan sel-

Degenerasi yang terus menerus pada jaringan kelenjar saliva akan menyebabkan 10-25% terjadinya hipofungsi dan gangguan komposisi saliva. DM tipe I dan II dapat menyebabkan pembesaran bilateral yang asimtomatik pada kelenjar parotis dan kadang-kadang kelenjar submandibularis yang biasa disebut sialosis diabeti (Pedersen, 2004).

Terdapat 2 hal yang sering merupakan komplikasi degeneratif DM yaitu otonomik neuropati dan mikroangiopati yang menyebabkan terjadinya gangguan struktural pada jaringan kelenjar saliva dan kemudian terjadi hipofungsi pada kelenjar ini serta dipengaruhi inervasi otonomik dan mikrosirkulasi pada jaringan kelenjar. Pasien dengan neuropati diabetik dilaporkan mengalami peningkatan dan penurunan flow saliva. Tidak ada konsensus pada hubungan antara DM dan disfungsi kelenjar saliva. Xerostomia dan hipofungsi kelenjar saliva sering dilaporkan berhubungan penyakit DM dimana terjadi kontrol metabolik yang buruk (Pedersen, 2004).

Manifestasi klinis
Penurunan saliva akan menyebabkan keluhan mulut kering, rasa terbakar atau rasa sakit serta adanya sensasi hilangnya indra pengecap. Manifestasi lainnya kemungkinan adalah peningkatan keinginan untuk minum air saat menelan. Kesulitan penelanan ini meningkat saat digunakan untuk mekan makanan kering. Pada kondisi awal secara klinis xerostomia secara klinis didahului perubahan-perubahan nyata pada mukosa rongga mulut atau penurunan fungsi kelenjar saliva. Selama proses xerostomia , pemeriksaan pada rongga mulut dapat terluhat juga erythematous pebbled, cobblestoned or fissured tongue dan atropi papila filiformis. Jaringan rongga mulut terlihat kemerahan seperti terbakar akan menimbulkan finger’s adhering.
Palpasi eksternal pada kelenjar parotis dan submandibularis dengan menempatkan kapas swab kering akan nampak gangguan pembukaan duktus dan tidak tampak adanya aliran saliva dari duktus tersebut. Pada geligi nampak peningkatan tendensi terjadinya karies dan terjadi ketidaknyamanan penggunaan denture serta hilangnya retensi. Kondisi ini juga dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi pada rongga mulut dan orofaring serta candidiasis dan keilitis. (Guggenheimer, 2003). Hiposalivasi dan perubahan komposisi saliva berhubungan dengan peningkatan terjadinya infeksi rongga mulut, gangguan kesembuhan luka dan peningkatan karies gigi (Perseden, 2004), atropik cracking pada mukosa, mukositis, ulserasi, diskwamasi dan inflamasi (Vernillo, 2003).

DIAGNOSA
Diagnosa untuk mengetahui terjadinya xerostomia terdiri atas beberapa tahapan:
1. Keluhan utama pasien dan riwayat penyakit.
Sebagian besar pasien yang datang dengan keluhan mulut kering, tetapi untuk pasien dengan xerostomia yang asimtomatik pertanyaan-pertanyaan tertentu dapat membantu diagnosa, misalnya:
a. Apakah saliva dalam mulut anda terasa sangat sedikit, terlalu banyak atau anda tidak memperhatikannya?
b. Apakah anda mengalami kesulitan menelan?
c. Apakah mulut anda tersa kering ketika makan makanan?
d. Apakah anda perlu menghisap air jika akan menelan makanan kering?

Jawaban”ya” untuk poin “a” pada jawaban “terlalu sedikit” mengindikasikan adanya penurunan unstimulated saliva. Jawaban “ya” pada 3 poin berikutnya menunjukkan penurunan stimulated saliva.

Untuk pasien simtomatik seorang dokter gigi dapat menggunakan metode Visual Analogue Scale (VAS) yang dapat menggambarkan keparahan seorang pasien ketika datang dan untuk mengevaluasi respon pasien setelah terapi. Metode ini seringkali digunakan oleh para klinisi untuk pemeriksaan nyeri pada pasien tetapi dapat juga digunakan untuk pemeriksaan saliva (Navazesh, 2003).

2. Riwayat kesehatan
Walaupun riwayat kesehatan pasien telah banyak tercatat pada rekam medis tetapi evaluasi fungsi kelenjar saliva jarang dilakukan kecuali pasien mengeluh adanyanya gejala tertentu. Sekresi saliva dipengaruhi oleh kondisi, keparahan, jumlah dan variasi durasi kelainan-kelainan medis dan pengobatan (Navazesh, 2003).

Pada pasien dengan DM, tentu saja memerlukan pemeriksaan glukosa darah untuk mendiagnosa kelainan ini. Diagnosa DM harus didasarkan atas pemeriksaan glukosa darah dantidak cukup hanya atas dasar adanya glukosuria saja. Uji diagnostik DM dilakukan pada individu yang menunjukkan gejala/tanda DM (Alim, C, 2007).

Gejala klinis DM adalah: poliuria, polidipsi dan penurunan berat badan yang tidak jelas sebabnya (trias) (Hernawan, I, 2006) dan Kadar gula darah sewaktu lebih besar dari 200 mg/dL sudah cukup menegakkan diagnosa DM. Sekurang-kurangnya diperlukan pemeriksaan kadar gula darah sewaktu dua kali abnormal pada waktu yang berbeda atau dua hasil abnormal pada waktu yang sama. Bila hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu meragukan maka untuk konfirmasi diagnosa DM perlu dilakukan Tes Toleransi Glukosa Oral (Alim, C, 2007).

Kadar glukosa darah puasa semalam (lebih dari 10 jam), dimana kadar normal kadarnya 70/80 – 100/120 mg/dL. Kadar glukosa darah puasa yang tinggi menunjukkan bahwa produksi insulin tidak cukup walaupun hanyak untuk kebutuhan basal. Kadar glukosa darah puasa pada penderita diabetes melitus di atas 120 – 130 mg/dL (Alim, C , 2007). Kadar glukosa darah post-Prandial (PP) yaitu Kadar glukosa darah sesudah makan atau pemberian glukosa dalam jumlah tertentu (seperti TTGO) disebut kadar glukosa darah post-prandial. Dasar pemeriksaan ini adalah pada orang normal setelah makan atau minum larutan glukosa dalam jumlah tertentu, kadar glkosa darahnya akan naik dan mencapai puncaknya setelah kira-kira satu jam PP, kemudian turun sehingga kadarnya pada dua jam PP mendekati kadar glukosa darah puasa. Pada penderita DM kenaikan kadar glukosa menetap dan lambat sekali atau sulit kembali normal. Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan cara oral dan intra vena (Alim, C, 2007).

3. Pemeriksaan klinis
Meliputi pemeriksaan pasien secara menyeluruh yitu pemeriksaan kelenjar saliva, jaringan lunak dan jaringan keras rongga mulut. Pemeriksaan kelenjar saliva meliputi segala sesuatu yang ditemukan misalnya pembesaran, tenderness, berkurangnya saliva, kontaminasi saliva (pus atau darah) saat palpasi. Pemeriksaan jaringan lunak meliputi “kondisi kering” , keadaan yang mengering, atropi, fisur, lobulated dan perubahan warna mukosa. Dokter gigi dapat menggunakan tongue blade untuk melihat kekeringan mukosa, jika alat melekat pada mukosa berarti terjadi penurunan sekresi saliva. Pemeriksaan jaringan keras meliputi pemeriksaan geligi yang karies, tingkat keparahannya dan rekurensinya (Guggenheimer, 2003).

4. Pemeriksaan lanjutan
Sebagai pemeriksaan lanjutan dapat dengan melakukan pemeriksaan tunggal atau kombinasi untuk mendapatkan final diagnosa. Pemeriksaan meliputi sialometri, serologi, mikrobial, histologi dan imaging.

a. Pemeriksaam sialometri
Pengumpulan ”whole saliva” lebih mudah dilakukan, dapat dilakukan pada saat istirahat (unstimulated / resting), dan pada saat pasien melakukan pengunyahan/aktivitas (stimulated). Unstimulated saliva normal adalah 0,1-0,2 ml/menit (gr/menit) dan stimulated saliva adalah 0,7 ml/menit (gr/menit).

Unstimulated saliva dilakukan pada pasien yang telah mengistirahatkan rongga mulutnya minimal 90 menit, duduk tegak lurus dengan kepala sedikit miring ke depan, pada situasi yang hening, mata tetap terbuka, kemudian melakukan gerakan pengunyahan awal, saliva ditampung setiap 5 menit sekali melalui corong ke dalam gelas ukur.

Stimulated saliva dilakukan pada pasien yang terlebih dahulu mengunyah permen karet selama ± 45 menit, kemudian pasien menampung salivanya setiap menit selama 5 menit (Navazesh, 2003).

b. Biopsi kelenjar saliva minor
Perubahan histopatologi pada kelenjar saliva mayor dan minor menggambarkan adanya pengaruh kondisi lokal atau sistemik yang mempengaruhi sekresi kelenjar saliva. Tempat yang paling sering dilakukan biopsi ini adalah pada bibir bawah. Pemeriksaan ini biasanya untuk melihat kluster limfosit (>> 50 limfosit pada 4×4 mm) yang didiagnosa sebagai sjogren syndrome, sehingga dapat dibedakan untuk mendiagnosa xerostomia karena penyebab lain (Navazesh, 2003).

TERAPI
Pendekatan umum terapi pasien hiposalivasi dan xerostomia adalah terapi paliatif yang berfungsi untuk mengurangi gejala dan mencegah terjadinya komplikasi oral (Guggenheimer, 2003). Terapi rehidrasi terutama untuk pasien DM, stimulasi kelenjar saliva (masticatory, gustatory, pharmacotherapeutic), saliva buatan, antimikrobial dan terapi fluor merupakan terapi yang dapat direkomendasikan (Navazesh, 2003)

Beberapa produk yang dapat digunakan pada pasien xerostomia misalnya saliva buatan, beberapa formulasi seperti obat kumur, aerosol, permen karet dan dentifrices yang juga dapat memicu sekresi saliva. Agen kolinergik yang menstimulasi reseptor asetilkolin kelenjar saliva mayor, yaitu obat-obat parasimpatomimetik misalnya pilocarpin hidrochloride walaupun pasien mengeluh kurang nyaman dengan pemakain obat ini.Jika penanganan secara medis belum juga memberikan respon yang baik ada baiknya disarankan memnggunakan terapi alternatif seperti akupuntur (Guggenheimer, 2003).

Pasien dengan gejala sistemik sebaiknya diberikan penanganan sesuai kelainan yang dideritanya. Seorang pasien dengan DM (tipe 1 dan 2) seharusnya mendapatkan pengobatan DM dengan baik sehingga kontrol metaboliknya menjadi lebih baik, sehingga diharapkan akan memperbaiki kondisi xerostomia yang dialaminya.

Terapi insulin merupakan terapi utama untuk pasien dengan DM tipe 1. Terdapat banyak metodem pemggunaan terapi insulin yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien tatapi secara umum merupakan injeksi subkutan (Kinambi, 2008), pemberian Preparat amylin komersial (pramlintide) dan Oral Hypoglicemic Agent (OHA) adalah terapi garis pertama yang digunakan untuk pasien dengan DM tipe 2, dan berfungsi untuk meningkatkan sekresi insulin pancreas dan kerja insulin (insulin action) (Kinambi, 2008).



Artikel Terkait:

Share this Article on :

0 komentar:

Posting Komentar

 

© Copyright INFO PENYAKIT 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.